Opini  

Menimbang Urgensi Perubahan Nama Jalan Bung Tomo

Jalan Bung Tomo
Jalan Bung Tomo

Warajatim.com – Rencana perubahan nama jalan dan pemberian nama jalan baru di sejumlah ruas jalan di Surabaya sudah masuk pembahasan di pansus pemberian dan perubahan nama jalan DPRD Surabaya. Terdapat beberapa nama-nama pahlawan yang akan ditetapkan sebagai perubahan nama dan pemberian nama baru, di antaranya adalah Mohammad Hatta, Bung Tomo, K.H. Idham Chalid, Wahab Chasbullah, Pangeran Antasari, Hasanuddin, dan Cut Nyak Dhien. Salah satu nama jalan yang menjadi polemik adalah perubahan nama jalan Bung Tomo di kawasan Ngagel yang dikembalikan lagi menjadi nama jalan Kencana.

Walikota Surabaya, Tri Rismaharini mengklaim memiliki beberapa alasan bahwa jalan Bung Tomo di Ngagel terlalu pendek. Pengembalian nama didasari atas semangat pemkot saat ini ingin memberikan penghargaan lebih pada Bung Tomo di jalan yang lebih panjang. Oleh sebab itu, nama Bung Tomo juga akan dijadikan nama jalan di kawasan Stadion Gelora Bung Tomo (GBT).

Nama Jalan dan Sites of Memory

Dalam studi tentang memori dan sejarah, Pierre Nora menyatakan bahwa memori manusia memiliki keterbatasan untuk mengingat segala sesuatu yang telah tejadi (event in the past). Cara kerja memori otak manusia bukanlah seperti memori komputer yang selalu bisa menampung segala file yang setiap saat bisa dipanggil untuk dihadirkan. Maka dari itu, memori otak manusia bisa mengalami proses (pe)lupa(an).

Kalau lupa seolah-olah menjadi sesuatu yang ditakutkan, maka konsekuensinya adalah masa lalu sebagai historicised memory telah menjadi sesuatu yang meneror. Untuk melawan lupa diperlukan sites of memory sebagai perajut antara memori, sejarah dan masyarakat. Sites of memory bisa berbentuk benda material, simbolik, fungsional dalam sebuah nama jalan yang semuanya akan berkoeksistensi sebagai upaya untuk mengingat dan sekaligus kehendak untuk merawat ingatan.

Hubungan antara nama jalan, formasi identitas, dan memori kolektif rupanya jauh dari sederhana. Jika nama jalan tersebut diganti dengan nama lainnya, bisa jadi kita akan kehilangan tempat untuk merajut sebuah memori kolektif karena keberadaannya tergantung pada kehadiran suatu tempat yang mampu menampungnya. Nama jalan sebagai ruang publik adalah arena tempat negara dan masyarakat menunjukkan kekuasaannya melalui pemaknaan sosial dan legal. Arena pertarungan politik memori ini selalu berjalan secara dinamis tergantung pada kontestasi pemaknaannya.

Kronologi perubahan nama jalan Kencana menjadi Bung Tomo di tahun 2000-an merupakan salah satu langkah untuk terus mengingat jasa-jasa Bung Tomo dalam perjalanan historis kota Surabaya yang dikenal melalui peristiwa pertempuran 10 November 1945.

Penetapan nama Bung Tomo menggantikan Kencana tak lain didasari oleh semangat pemkot dan arek-arek Suroboyo sebagai bentuk protes dan menekan pemerintah pusat karena Bung Tomo tak segera ditetapkan sebagai pahlawan nasional serta belum ada nama jalan Bung Tomo di Indonesia. Nama jalan Bung Tomo saat itu juga menjadi penanda dan penunjuk yang didekatkan dengan makam Bung Tomo di tempat pemakaman umum yang terletak di jalan Ngagel.

Jalan Bung Tomo
Jalan Bung Tomo

            Dalam hal ini, perubahan nama jalan Bung Tomo kembali menjadi Kencana tidaklah memiliki urgensi besar. Perubahan nama tersebut memiliki memori ingatan panjang dan mempunyai referent sejarah sebagai bagian perjalanan kronologis pengakuan Bung Tomo sebagai pahlawan nasional.

Bisa jadi, pengembalian nama jalan Kencana menggantikan Bung Tomo justru menjadi proses pelupaan kronologi tersebut dalam ingatan memori bersama masyarakat Surabaya. Nama jalan sebagai pengingat memori bersama juga tidak dapat diukur dengan ukuran panjang dan pendeknya jarak jalan. Belum tentu nama Bung Tomo di jalan yang pendek menandakan tidak lebih menghormati jasa-jasanya jika dibandingkan dengan nama Bung Tomo di jalan yang lebih panjang.

Alternatif

Apabila di kawasan Stadion GBT terdapat jalan baru yang akan diberi nama, alangkah lebih baiknya jika bisa merujuk kepada nama tokoh atau sesuatu yang berkaitan langsung dengan olahraga seperti nama Pamoedji sebagai pendiri SIVB (Soerabaiasche Indonesische Voetbal Bond), atau Radjamin Nasution yang memiliki peran besar bersama Liem Koen Hian, A.R. Baswedan dalam perjuangan perlawanan kultural-politis bersama SIVB memboikot sepak bola Belanda yang rasis terhadap wartawan kulit berwarna (Bumiputera, keturunan Tionghoa dan Arab) yang dilarang meliput sepak bola Belanda di tahun 1932.

Dalam peristiwa itu, dikemukakan pula gagasan Indonesierchaap bahwa kebangsaan bagi orang Tionghoa di Hindia Belanda harus merujuk kepada Indonesia. Oleh karena itu, bangsa keturunan harus turut berjuang bersama tokoh pergerakan nasional Indonesia memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari Belanda.

Boleh juga nama jalan baru di kawasan Stadion GBT diberi nama jalan SIVB atau Persebaya 1927 karena kedua nama itu bukan hanya klub kebanggaan kota dan masyarakat Surabaya. Keduannya telah menjadi bagian sejarah kota Surabaya itu sendiri.

Dengan demikian, kawasan Stadion GBT akan menjadi ruang publik sebagai sites of memory tentang perjalanan olahraga kota Surabaya yang memiliki nilai historis sehingga masyarakat luas bisa memaknai bahwa olahraga bukan hanya olahraga saja. Olahraga pun dapat menjadi alat perjuangan bangsa, memiliki nilai humanisme dan solidaritas bersama anak bangsa untuk memperjuangkan kemerdekaannya dari penjajah di masa lalu.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *