Opini  

New Normal dan Harapan Ekulibrium Baru

new normal

Rekayasa new normal dalam setidaknya satu bulan terakhir sedang dijalankan. Perdebatan mengemuka seputar ketegangan kutub penyelamatan jiwa warga dari amuk pandemi Covid-19 yang grafiknya masih menanjak dengan penyelamatan ekonomi yang kian lesu akibat diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) beberapa bulan silam. Namun secara implisit, pemberlakuan new normal menyiratkan sejumlah tanya.

Adakah ini menggambarkan kesenjangan kesadaran antara perspektif medis dengan perspektif politik dari para pengambil kebijakan, mengingat beberapa waktu sebelumnya sempat mencuat interupsi dari kalangan medis melalui tagar Indonesia terserah? Lebih jauh, bagaimana dengan kesadaran masyarakat yang harus diakui masih belum mampu beradaptasi dengan situasi “new normal”? Ataukah ini sekaligus makin menyiratkan formulasi kebijakan pemerintah yang masih saja sporadis?

Satu hal yang gamblang, bahwa proses transisi menuju tatanan “new normal” ternyata harus melalui pembelahan kesadaran di masyarakat. Antara status quo dengan tatanan lama berhadapan dengan desakan kesadaran baru berupa “new normal” tersebut. Pertarungan kesadaran ini terasa sekali dari ekspresi-ekspresi yang saling bermunculan di media sosial. Menariknya, di tengah dua arus itu, terdapat “wacana penengah” yakni berdamai dengan pandemi. Wacana yang melonggarkan pergerakan sosial – sekaligus berimplikasi secara ekonomi – dengan tetap mematuhi protokol kesehatan.

Entah itu diinisiasi oleh Pemerintah atau subjek lain, yang jelas wacana ini terkesan sedang berupaya menjembatani ketimpangan status quo dan perubahan menuju tata “new normal”. Tentu saja, daya tahan wacana ini akan terjawab oleh waktu. Namun apa yang penting untuk diantisipasi adalah keterjerembaban wacana berdamai dengan pandemi tersebut ke dalam ketidakpedulian sebagian masyarakat yang bisa berujung pada petaka bagi semuanya. Atau tidak kalah mengerikan, ketika wacana tersebut menyiratkan ekspresi menyerah dengan keadaan. Alih-alih melonggarkan pembatasan sosial, yang justru terjadi adalah ambyarnya tatanan sosial.

new normal

Akibatnya, grafik positif terinfeksi Covid-19 tak kunjung landai melainkan sebaliknya, tetap menanjak. Ekonomi memang mulai bergerak, namun potensi keabaian sipil akibat makin terbiasanya mereka dengan keberadaan pandemi ini tentu menjadi problem krusial bak bara dalam sekam. Kesemuanya itu agaknya akan terjawab setelah berjalan beberapa minggu ke depan. Situasi pasca lebaran sekarang ini merupakan babak terjal baru yang harus dijawab utamanya oleh pemerintah. Potensi reurbanisasi seperti lazim sebelumnya, meningkatnya angka pengangguran, ancaman kelangkaan pangan hingga bayang-bayang resesi ekonomi global.

Pemerintah seharusnya mengantisipasinya kesemua itu sedini mungkin. Tentu saja, ini membutuhkan dukungan dari simpul-simpul penting di masyarakat. Perguruan tinggi, tenaga medis, para pemuka agama, media-media arus utama, aktivis lembaga swadaya masyarakat, hingga para elite politik kiranya memiliki tanggung-jawab yang sama besar untuk saling bersinergi mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan buruk ke depan. Sudah bukan waktunya lagi dalam suasana masyarakat yang dirundung kecemasan bercampur ketidakpedulian dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan pragmatis sekelompok orang untuk panggung politik atau meraup keuntungan pribadi. Solidaritas sosial hendaknya makin digalakkan.

Sementara pendekatan kebijakan yang kini bertumpu pada pemenuhan kebutuhan material mustinya diimbangi dengan pendekatan psikologis dan spiritual. Karena bagaimanapun, keterjepitan ekonomi dapat menjadi efek domino khususnya secara psikologis dan spiritual. Muaranya adalah persoalan sosial hingga politik bermunculan. Pemerintah kiranya penting untuk menyediakan layanan psikologis dan spiritual yang proaktif bagi sebagian warga yang sudah dalam taraf makin miskin, miskin baru atau hampir miskin. Jangan sampai sebagian mereka ini justru menjadi persoalan baru yang makin merunyamkan kondisi yang ada.

Secara lebih makro, dalam hal perencanaan pembangunan, apa yang telah tertuang dalam dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) kiranya perlu direvisi dengan mengakomodasi perubahan-perubahan yang serba cepat sejauh ini. Apa yang secara optimistis melatarbelakangi rencana pembangunan sebelumnya, harus disesuaikan secara realistis demi keberlangsungan kehidupan berbangsa-bernegara secara lebih proporsional ke depan.

Dalam hal ini, setidaknya tiga persoalan menjadi mendesak untuk diprioritaskan, yaitu kesehatan masyarakat, ketenagakerjaan dan ketahanan pangan. Tiga hal itu merupakan pondasi penting untuk meredam gejolak sosial-politik, disamping tentunya merevisi sejumlah rencana dan target ekonomi makro. Lebih lanjut, intensitas komunikasi politik oleh pemerintah kepada warga kiranya penting untuk disinergikan. Baik antar pemerintah dari pusat hingga daerah maupun antara pemerintah dengan masyarakat. Hal ini untuk, sekali lagi, menghindari reduksi maupun distorsi informasi yang selama ini masih kerap muncul di media-media.

Pembelahan kesadaran diantara masyarakat antara status quo dengan normal baru tidak dapat dimungkiri disebabkan salah satunya oleh tidak sinergisnya koordinasi diantara elemen pemerintahan dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat. Sementara di sisi lain, tidak menutup kemungkinan di dalam masyarakat sendiri juga terjadi variasi tangkapan informasi sebab perbedaan kemampuan literasi. Momentum awal pemberlakuan normal baru ini kiranya merupakan masa menentukan untuk mempersiapkan secara lebih matang apa yang hendak dilakukan pemerintah, khususnya dalam ikhtiar menciptakan tatatan keseimbangan baru (new equilibrium) bagi penanganan pandemi, penyelamatan ekonomi dan penguatan data tahan sosial-politik. Sehingga tidak lagi muncul ekspresi Indonesia terserah berikutnya.

Fahrul Muzaqqi___adalah Dosen di Departemen Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP), Universitas Airlangga, Surabaya. Mengajar mata kuliah: (1) Negara, Agama dan Demokrasi; (2) Elit Politik; (3) Gerakan Sosial-Politik; (4) Demokrasi dan Demokratisasi; (5) Perbandingan Politik.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *