Opini  

PENUTUPAN MAL DI MASA CORONA, KEWENANGAN SIAPA?

Kewenangan Siapa
Kewenangan Siapa

Lini masa media maya riuh dengan postingan gambar-gambar membeludaknya pengunjung pada pusat-pusat perbelanjaan. Sayangnya, sebagian besar dari pemberitaan ini memiliki tone yang negatif. Digambarkan, para pengunjung tidak menaati kaidah penjagaan jarak fisik (physical distancing) yang dianjurkan oleh pemerintah. Hal ini tentu saja sangat berpotensi untuk mempermudah penularan virus Covid-19.

Pemandangan ini lantas memicu perdebatan di media sosial. Apalagi jika kejadian ini dikontraskan dengan pola penanganan yang dianggap diskriminatif ketika dihadapkan pada penertiban pedagang atau warung pinggir jalan serta tempat beribadah. Bahkan, tidak sedikit yang mempertanyakan kewenangan pemerintah dalam hal penutupan tempat berbelanja dalam berbagai ragam bentuknya.

Tulisan ini akan memfokuskan pada kewenangan pemerintah dalam penataan tempat berbelanja di masa wabah corona.

Kewenangan Penataan Pasar dan Tempat Perbelanjaan Lainnya

Dalam situasi normal, penataan pasar maupun tempat berbelanja lainnya mengikuti kaidah yang telah diatur dalam peraturan perundangan yang mengaturnya secara spesifik. Untuk penataan pasar tradisional, pusat perbelanjaan (biasanya disebut Mal) dan toko modern, terdapat Peraturan Presiden nomor 112 tahun 2007 (Selanjutnya disebut sebagai Perpres). Spirit yang ada dalam Perpres ini adalah proteksionisme.

Artinya, melalui Perpres ini, Pemerintah ingin melindungi keberadaan pasar tradisional dari gempuran toko modern dan pusat perbelanjaan yang diasumsikan ditopang oleh pemodal besar.

Menurut Perpres ini, mekanisme perijinan untuk melakukan usaha dalam bidang pasar tradisional, toko modern maupun pusat perbelanjaan ada pada Bupati/Walikota. Pendeknya, perijinan bagi Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern ada pada Bupati/Walikota. Hal ini diperkuat oleh Undang Undang Pemerintahan Daerah. Matriks pembagian urusan pemerintahan dalam hal perdagangan pada huruf DD menyebutkan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota dalam hal penerbitan izin.

Konsekuensi dari hal ini tentunya pada aspek pembinaan dan pengawasan yang menjadikan Kabupaten dan Kota menjadi ujung tombaknya, termasuk dalam hal pemberian sanksi. Jika pelanggaran terus dilakukan, maka sanksi yang dijatuhkan bisa berujung pada pencabutan izin usaha. Artinya, usahanya bisa ditutup.

Pada situasi bencana covid-19 seperti ini, ketentuan sebagaimana terdapat pada Perpres dan regulasi turunannya, tidak dapat diterapkan secara serta merta. Namun, pengaturan itu haruslah mengacu pada produk hukum yang sesuai dengan konteks yang melingkupinya. Dalam hal ini berlaku kaidah bahwa hukum yang khusus mengalahkan hukum yang umum (lex specialis derogate legi generalis).

Produk hukum yang spesifik mengaturnya adalah Undang Undang Kekarantinaan Kesehatan (UUKK). UUKK memberikan kewenangan bagi adanya pembatasan sosial berskala besar (PSBB). PSBB ini digunakan untuk membatasi kegiatan yang dapat mengundang kerumunan, termasuk pusat perbelanjaan atau mal. UUKK ini menjadi rujukan bagi pembentukan peraturan perundangan lain yang ada dibawahnya meliputi Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri sampai dengan peraturan kepala daerah.

Peraturan Menteri Kesehatan nomor 9 tahun 2020 (Permenkes) telah mengatur tentang jenis kegiatan apa saja yang dibatasi dalam masa PSBB termasuk tempat kerja. Pada prinsipnya, selama PSBB, seluruh tempat kerja diliburkan. Namun, terdapat beberapa perkecualian terhadapnya. Perkecualian tersebut diantaranya adalah jika tempat usaha itu terkait dengan bahan pangan, perbankan, media cetak/elektronik, telekomunikasi, obat-obatan, peralatan medis, pengiriman bahan pangan, pompa bensin, layanan penyimpanan, serta layanan keamanan pribadi(lampiran Permenkes).

Rincian kegiatan yang dikecualikan tersebut sebenarnya menutup peluang bagi jenis usaha lainnya, semisal pakaian, aksesoris rumah, dan kosmetik. Intinya, selain jenis usaha yang telah disebut dalam perkecualian maka tidak boleh ada jenis usaha lainnya yang boleh beroperasi selama PSBB. Namun, dalam prakteknya kita bisa melihat bahwa, baik pengelola pasar tradisional maupun pengelola pusat perbelanjaan tetap memperkenankan jenis usaha selain yang diperkecualikan tersebut. Jelas hal ini bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Apabila ada pelaku usaha yang melanggar, maka pemerintah daerah (Gubernur/Bupati/Walikota) sesuai dengan Permenkes dapat melakukan pengawasan dan mengevaluasinya. Dalam Permenkes tak disebutkan secara rinci apa yang menjadi kewenangan masing-masing instansi tersebut dalam hal pembinaan dan pengawasan. Di dalamnya hanya disebutkan bahwa pengawasan tersebut dilakukan sesuai dengan kewenangan masing-masing. Oleh karena itu, hal ini bisa dikaitkan dengan pengaturan pada peraturan perundangan lainnya.

Jika dikaitkan dengan mekanisme perijinan usaha, aspek pengawasan dan pembinaan ini berada pada instansi pemerintahan yang mengeluarkan izinnya, yaitu Bupati atau Walikota. Instansi yang mengeluarkan izn harus memastikan bahwa izin yang dikeluarkannya akan digunakan dengan sebagaimana mestinya. Sanksi berupa peringatan sampai pencabutan izin usaha bisa diberikan jika pelanggaran masih terus dilakukan. Sebelumnya, seharusnya Bupati/Walikota memberikan sosialisasi sekaligus himbauan kepada para pelaku usaha.

Dengan demikian, kerumunan di tempat perbelanjaan baik pasar tradisional maupun pusat perbelanjaan dapat terhindarkan. Yang juga tak kalah penting adalah peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat dalam mengoordinasikan kerjasama dalam hal penanganan di masa PSBB. Melampaui perdebatan tentang ini kewenangan siapa, hal yang lebih utama adalah kesepahaman antar level pemerintahan. Bukan untuk kepentingan pencitraan, melainkan demi rakyat supaya mereka mendapatkan kemaslahatan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *