Opini  

Pembatasan Kebebasan Beribadah di Tengah Wabah

Pembatasan Kebebasan Beribadah Di Tengah Wabah
Pembatasan Kebebasan Beribadah Di Tengah Wabah <br> Pict: https://crcs.ugm.ac.id/

Akhir Maret 2020 lalu, Presiden mendeklarasikan status darurat kesehatan masyarakat sebagai respon atas penyebaran virus covid-19. Status ini kemudian ditindaklanjuti dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah tertentu.

PSBB mengandaikan adanya pembatasan terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat mengundang kehadiran banyak orang. Diantara kegiatan-kegiatan yang dapat dibatasi dalam skema PSBB adalah kegiatan keagamaan.

Pada saat yang hampir bersamaan, pada bulan April, umat Islam memasuki bulan Ramadhan. Biasanya, selama Ramadhan, banyak tradisi keagamaan yang dilakukan yang tentu saja berpotensi dan memang melibatkan banyak orang. Kegiatan membangunkan orang dengan berkeliling, tarawih, tadarus serta berdiam diri di masjid di malam Ramadhan adalah beberapa contohnya.

Pada agama lainnya, kegiatan peribadahan dengan partisipasi lebih dari satu orang juga lazim ditemukan. Hal ini tentu saja menjadikan dilema bagi pengambil kebijakan dalam membuat pembatasan. Tulisan ini akan mendiskusikan batasan kebebasan beragama dan berkeyakinan yang diperbolehkan dengan mengambil hak asasi manusia (HAM) sebagai sudut pandang.

HAKIKAT HAK KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN

Hak kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) merupakan bagian dari HAM. Secara spesifik, ia masuk dalam hak kebebasan sipil sebagaimana diatur dalam Kovenan Hak Sipil Politik (KIHSP) yang telah diratifikasi Indonesia.

Pada beberapa dokumen hak, baik internasional maupun nasional, hak KBB ditempatkan pada “klaster” hak yang tidak dapat dikurangi dalam kondisi apapun (non-derogable rights). Bersama-sama dengan hak untuk hidup dan hak untuk tidak disiksa, serta hak untuk tidak diadili berdasarkan hukum yang berlaku surut, hak KBB merupakan hak yang tetap harus dihormati. Bahkan, jika situasi dalam suatu negara ada pada status darurat sekalipun.

Namun, terdapat karakter yang unik dalam hak KBB yang menjadikan penerapannya tak dapat dilakukan sepenuhnya. Terdapat dua dimensi dalam hak KBB yaitu forum internum dan forum eksternum.

Forum internum ini merupakan wilayah dimana seseorang meyakini kebenaran ide/gagasan agama atau keyakinan tertentu. Misalnya, seseorang mengimani bahwa ajaran Islam/Kristen/Budha/Sunda Wiwitan sebagai agama/keyakinan yang paling benar.

Dimensi kedua adalah forum eksternum yang merupakan bentuk perwujudan dari ide/gagasan yang diimani tadi. Tegasnya, hal yang diimani tadi akan mengejawantah dalam tindak-laku tertentu, baik yang dilakukan secara individual maupun komunal. Hal ini dapat dilihat dari laku ritual yang ada pada beberapa agama dan kepercayaan semisal kebaktian, sholat dan sebagainya.

Dua dimensi agama/keyakinan ini pada akhirnya harus dihormati oleh negara. Terhadap dimensi yang pertama, negara tidak boleh mengintervensinya. Intervensi terhadapnya hanya berbuah pada pelanggaran belaka. Negara hanya dapat mengintervensi pada dimensi yang kedua. Yaitu, ketika gagasan kebenaran terhadap suatu agama telah termanifestasikan sedemikian rupa dan berpotensi mengancam pihak lainnya.

BATASAN KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN

Pembatasan hak KBB hanya dapat menyasar pada dimensi eksternal saja. Dimensi eksternal ini ada jika ide yang diimani sudah muncul dalam bentuk perilaku dan tindakan yang berpotensi bersinggungan dengan manusia lainnya. Ibadah kolektif (kebaktian/sholat tarawih, sembahyang di Kelenteng) termasuk dalam hal ini. Oleh karenanya, hal tersebut dapat dibatasi.

Panduan pembatasan terhadap hak sipil politik, diberikan oleh beberapa ahli dalam dokumen yang disebut sebagai Prinsip-Prinsip Syracusa yang merupakan turunan dari KIHSP. Menurut dokumen tersebut, salah satu alasan pembatasan adalah potensi ancaman nyata terhadap kesehatan. Korban Covid-19 nyata telah berjatuhan. Hal ini bisa menjadi legitimasi bagi pemerintah untuk melakukan pembatasan terhadap kegiatan peribadatan.

Namun, mesti diingat juga bahwa pembatasan hanya boleh dilakukan dengan mengaturnya melalui instrumen hukum (prescribed by law). Tak sekedar hukum, namun h

ukum itu harus jelas perumusannya (lex certa). Hal ini supaya tidak ada penafsiran yang berganda sehingga mudah dipahami. Di samping itu, hukum tersebut memuat substansi yang adil. Hukum yang adil tidak menempatkan subjek yang diatur (warga negara) dalam posisi yang berbeda (diskriminatif). Terakhir, hukum yang ada harus tersosialisasikan dengan baik kepada semua warga.

Pembatasan itu juga harus didesain sedemikian rupa sehingga selaras dengan kerangka demokrasi (necessary in a democratic society). Aspirasi yang berbeda sebisa mungkin tidak diganjar pidana. Upaya persuasif dan partisipatif seharusnya lebih mengemuka. Pemerintah dapat mengusahakan untuk turun langsung kepada berbagai komunitas agama dan keyakinan untuk memeberikan pengarahan.

Jika masih saja ada pihak yang bersikeras untuk melakukan peribadatan yang nyata-nyata mengancam kesehatan, pemerintah tidak boleh ragu untuk tegas dalam mengambil tindakan. Penutupan tempat ibadah maupun larangan kegiatan peribadatan merupakan hal yang diperkenankan.

Di sisi lain, pemerintah juga harus memiliki integritas dalam pelaksanaan. Jangan sampai, aturan yang telah dibuat, tajam ke bawah namun tumpul ke teman.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *