Opini  

Problem Sepak Bola Indonesia Yang Tak Kunjung Selesai

Sepak Bola
Sepak Bola

Sebagian besar orang di Indonesia menggemari dan memainkan sepak bola karena telah menjadi olahraga populer. Kegemaran tersebut, bahkan tak jarang membuat anak-anak di negeri ini bercita-cita menjadi pemain sepak bola saat mereka besar nanti. Mereka memainkan si kulit bundar di mana saja, baik di sekolah, tempat ibadah dan lingkungan kampung sekitar tempat tinggal dengan segala keunikannya.

Ribuan anak Indonesia, pemuda, suporter dan mereka yang menggantungkan hidupnya di dunia sepak bola pasti menginginkan sepak bola Indonesia menjadi lebih baik dan terus kondusif, dapat dinikmati bersama-sama atau bahkan dapat menghadirkan prestasi. Akan tetapi, semua itu bukanlah sesuatu hal yang mudah diwujudkan di negeri yang mencintai sepak bola tanpa batas ini.

Buku yang berjudul “Sepak Bola Tak Pernah Mati” karya Miftakhul F.S. ini hadir untuk mengulas bagaimana sepak bola yang sudah akrab di kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia bukanlah seperti deretan angka yang bisa diprediksi dengan tepat. Bukan juga hitungan statistik di atas kertas. Sepak bola Indonesia selalu menghadirkan rasa, emosi, gelora dan segala hal yang melekat pada manusia.

Dari buku ini, paling tidak terdapat beberapa problem yang selalu tidak tuntas dalam sepak bola Indonesia. Pertama, problem pembinaan usia muda yang tidak pernah digarap serius. Miftakhul memberikan contoh kasus pada SSB Banteng Muda yang berhasil menempati peringkat 14 dari 32 tim di seluruh dunia dalam Danone Cup di Marrakesh, Maroko tahun 2015.

Akan tetapi, mau dikemanakan semua bibit-bibit berbakat itu ke depan dalam sepak bola Indonesia. Tidak ada pembinaan yang berkelanjutan dan hal itu terus terjadi berulang-ulang. Prestasi anak-anak muda seperti Bagas-Bagus Kahfi dan Supriyadi di timnas Indonesia U-16 yang berhasil memberikan gelar juara piala U-16 AFF 2016 sejatinya harus bisa menggerakkan PSSI untuk lebih serius dalam pembinaan usia muda.

Jangan sampai mereka hanya berbagi dan memberikan kebanggan di saat itu saja, namun tak terlihat lagi ketika mereka menapaki usia emas sebagai pesepak bola. PSSI tak boleh alpa dalam merumuskan dan menyelenggarakan kompetisi yang berjenjang bagi mereka sehingga memunculkan bibit-bibit muda baru yang terus berkelanjutan (hlm. 5-21)

Kedua, bagaimana sepak bola Indonesia tidak bisa mengatur serta menjalankan agenda liga dan agenda timnas. Saat piala AFF 2016 diselenggarakan dan membutuhkan pemain-pemain terbaiknya, justru operator “kompetisi” dan klub bersepakat maksimal melepas dua pemainnya saja ke timnas. Hal itu dikarenakan saat timnas bermain membela panji garuda di dada, tetapi kompetisi liga Indonesia juga terus berjalan memainkan pertandingan di hari yang sama (hlm. 37).

Pun demikian, saat liga Gojek 2017 diselenggarakan dengan regulasi yang kemungkinan besar tanpa didasari riset dampak terlebih dahulu. PSSI mewajibkan di liga 1 untuk memainkan tiga pemain U-23 minimal 1×45 menit dan marquee player yang bisa jadi tak terbatas. Di Liga 2 hanya membolehkan 5 pemain di atas usia 25 tahun dan pertandingan dilakukan di hari kerja (senin dan kamis).

Regulasi liga 1 jelas bisa berpotensi memunculkan pemain malas. Pemain muda tak perlu berlatih keras karena sudah terjamin sebagai pemain inti dalam 1×45 menit. Sementara itu, regulasi liga 2 berpotensi menghabisi harapan hidup orang banyak saat masih bisa bermain bola di atas usia 35 dan di rentang usia 26-35 tahun untuk menghidupi keluarga mereka (hlm. 53-57). Salah satu korban regulasi itu adalah Mat Halil pemain Persebaya yang harus tercoret tatkala menjalani liga 2.

Ketiga, adalah dinamika suporter, klub dan federasi. Miftahkul sebagai penulis mengilustrasikannya dalam ulasan cinta, perlawanan dan Surabaya. Kondisi sepak bola yang penuh dengan kepentingan politik, dualisme klub dan PSSI yang tak kunjung memberikan prestasi, membuat kelompok suporter menyuarakan aspirasinya untuk mendorong perubahan, terutama suara bonek yang selalu nyaring.

Hal itu bukan tanpa sebab karena Persebaya 1927 yang di mata bonek adalah Persebaya yang asli “didholimi” PSSI selama bertahun-tahun. Pada akhirnya, bonek dapat menjemput klub kebanggan arek-arek Suroboyo itu di Bandung sebagai titik awal dikembalikannya status Persebaya menjadi anggota PSSI dan resmi berkompetisi di liga 2 tahun 2017.

Membaca buku ini tak ubahnya membaca sepak bola dengan gamblang bahwa permainan ini memiliki banyak sisi layaknya ungkapan “football is not just a game”. Bagi siapa saja yang memiliki cita-cita menjadi pemain sepak bola di saat mereka masih anak-anak yang kini tidak terwujud, maka layaklah memiliki buku ini sebagai pengobat rindu indahnya masa kecil bermain sepak bola dan bercita-cita menjadi pemain sepak bola.

Barangkali, anda semua akan teringat dengan kaos olahraga yang di bagian punggungnya anda tulisi dengan nama pemain idola masing-masing dan bergaya melebihi idola mereka. Demikian juga dengan mereka yang terus mencintai sepak bola Indonesia, semuanya diajak untuk memahami atau lebih pasnya adalah terus prihatin mengenai kondisi sepak bola negeri ini.

Judul Buku : Sepak Bola Tak Pernah Mati
Penulis : Miftakhul F.S.
Penerbit : Fandom Indonesia
Cetakan : 2019
Tebal : xii + 128 halaman; 14 x 21 cm

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *