Opini  

Spirit Majapahit dan Pemimpin Perempuan Jatim

Spirit Majapahit Dan Pemimpin Perempuan Jatim
Spirit Majapahit Dan Pemimpin Perempuan Jatim

Usai sudah penantian masyarakat Jawa Timur untuk memiliki gubernur perempuan pertama setelah Khofifah Indar Parawansa dan Emil Dardak secara resmi dilantik oleh Presiden Joko Widodo, Rabu sore (13/02/2019). Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki sejarah panjang dengan Majapahit yang ramah dengan (kepemimpinan) perempuan.

Sukarno dalam Pidato Sidang BPUPKI 1 Juni 1945 (hari lahir dasar negara Pancasila) menyatakan bahwa

“Demikian pula bukan semua negeri-negeri di tanah air kita yang merdeka di zaman dahulu adalah ‘nationale staat’. Kita hanya dua kali mengalami ‘nationale staat’, yaitu di zaman Sriwijaya dan zaman Majapahit”.

Majapahit merupakan kerajaan terbesar di Nusantara yang berpusat di Jawa Timur. Oleh karena itu, Jawa Timur merupakan awal muasal para pendiri bangsa berikhtiar membangun kebersamaan dan persatuan geopolitik serta jalur geoekonomi di Nusantara melalui perwujudan ikrar sumpah Amukti Palapa Mahapatih Gadjah Mada.

Denys Lombard melalui karyanya Nusa Jawa Silang Budaya: Jaringan Asia, menerangkan bahwa dalam perundang-undangan Majapahit tidak ditemukan pembedaan status seorang pemimpin. Laki-laki dan perempuan tidaklah dipandang berbeda dalam kapasitasnya menjadi seorang pemimpin. Perempuan tidak ditempatkan sebagai mahluk yang lebih rendah (inferior) dan selalu di bawah kedudukan laki-laki yang sering sekali ditafsirkan sebagai sosok yang paling kuat (superior).

Dalam kisah Nagarakrtagama dan Pararaton, kejayaan Majapahit juga bukan hanya dibangun oleh laki-laki semata, melainkan adanya keterlibatan seorang perempuan, di antaranya adalah Gayatri Rajapatni, Tribhuwana Tungga Dewi dan Ratu Suhita yang dikenal sebagai Ratu Kencana Wungu.

Gayatri merupakan anak bungsu dari Krtanagara, raja kerajaan Singhasari, Jawa Timur yang diyakini sebagai cikal bakal Majapahit. Ia merupakan ratu dari Raden Wijaya, raja pertama Majapahit dan juga ibu tiri Jayanagara dan ibu kandung Tribhuwana Tungga Dewi. Gayatri pula yang kemudian menjadi pembimbing Gadjah Mada sebagai Mahapatih Majapahit yang melegenda dengan sumpah palapanya.  Pada masa setelah itu, ia juga memiliki peran sebagai dewan penasehat spiritual raja-raja majapahit hingga akhir hayatnya sebagai guru bangsa pada masanya.

Sementara itu, Tribhuwana Tungga Dewi mampu mengembalikan kewibawaan dan martabat Majapahit dalam masa sulit karena perang. Ia kemudian diangkat menjadi raja pada 1328 M menggantikan kakaknya, Jayanagara. Selanjutnya adalah Ratu Ayu Kencana Wungu yang bertahta Majapahit tahun 1427-1447 di saat usianya masih 20 tahun. Ia berhasil membuktikan kecakapannya memerintah Majapahit seperti para pemimpin-pemimpin terdahulunya.

Berpijak pada realitas historis tersebut, Khofifah melalui visi misi program Nawa Bhakti Satya yang dikampanyekan selama proses pemilukada kemarin harus dapat memerkuat pembangunan di Jawa Timur dengan menitik beratkan keseimbangan gender dalam formulasi kebijakannya saat memimpin selama lima tahun ke depan. Bukan tanpa sebab, pembangunan yang seimbang dan berkeadilan gender dapat menciptakan perbaikan kehidupan ekonomi masyarakat dan juga memerpendek kesenjangan antara laki-laki dan perempuan.

Oleh sebab itulah, Jawa Timur harus memiliki sosok pemimpin yang berkarakter kuat. Jawa Timur harus dipimpin oleh pemimpin yang memiliki keberanian menghadapi tantangan, memiliki kompetensi dalam menjalankan kebijakan, memiliki rekam jejak yang baik dalam berperilaku dan bertindak, serta memiliki komitmen untuk menjaga persatuan.

Hal ini, sejalan dengan sifat-sifat kepemimpinan yang dapat diteladani melalui sejarah panjang Majapahit serta para pendiri bangsa ini yang di antaranya adalah, pertama, Matanggwan yang dapat diartikan sebagai kepercayaan rakyat dan negara. Pemimpin harus bekerja tanpa mengabaikan kepercayaan yang dilimpahkan kepadanya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial untuk kepentingan umum masyarakat di pelosok negeri ini.

Kedua, Bhakti Satya yang mengajarkan arti kesetiaan serta berhati ikhlas untuk mengabdi kepada masyarakat. Terutama keihklasan mengabdi dalam membangun Jawa Timur. Ketiga, Sumantri yang artinya menjadi abdi negara yang memiliki perilaku baik, kesempurnaan dalam menjaga perilaku serta Ginong Pratidino, mengerjakan yang baik dan meninggalkan hal-hal yang tidak sempurna dan keburukan sehingga menjadikan Jawa Timur sejahtera dan bermartabat (baik pemimpin maupun masyarakatnya).

Nawa Bhakti Satya Khofifah dapat berjalan beriringan dengan spirit kepemimpinan Majapahit. Nawa Bhakti Satya berasal dari Bahasa Sanskerta dan Jawa. Nawa berarti Sembilan, Bhakti merupakan pengabdian yang dilakukan secara aktif yang sifatnya inklusif dan pastisipatif. Satya memiki makna benar, sejahtera yang bermuara pada tujuan kemuliaan.

Nawa Bhakti Satya harus menghidupi spirit Khofifah dalam mewujudkan sembilan pengabdiannya yang tulus dan penuh keikhlasan demi masyarakat Jawa Timur yang lebih sejahtera dan penuh kemuliaan lima tahun ke depan. Masyarakat Jawa Timur memiliki energi positif dan produktif. Komposisi masyarakat yang multikultur dan penuh toleransi ini menjadi modal yang sangat berharga bagi pembangunan Jawa Timur.

“Wis wayahe, kabeh sedulur kabeh makmur”. Kita semua pasti menunggu gebrakan-gebrakan baru gubernur perempuan pertama Jawa Timur ini untuk membangun Jawa Timur yang berkeadilan gender dan peduli terhadap perempuan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *