500 anak menjadi perokok aktif selama pandemi

500 anak menjadi perokok aktif selama pandemi

Surabaya – Yayasan Arek Lintang (ALIT) menemukan sedikitnya 500 anak telah menjadi perokok aktif selama pandemi, karena dalam kegiatan belajar mereka melakukannya di sejumlah warung kopi (warkop).

“Kebetulan saat kondisi pandemi anak-anak tidak ada kegiatan sekolah tatap muka, sehingga banyak menggunakan wifi dan belajar daring di warung kopi, tetapi di sana mereka juga merokok,” kata Tim Baseline Survey Koalisi Stop Child Abuse, Lisa Febriyanto di Surabaya, Selasa (29/9/2020).

Yayasan ALIT yang bergerak di bidang Perlindungan Anak bekerja sama dengan Koalisi Stop Child buse yang terdiri dari ISNU, KP2M, Komunitas Siwi dan Gusdurian Sidoarjo ini Melakukan survei yang dilakukan di 5 Regional State, masing-masing Surabaya, Sidoarjo, Malang Raya, Jember-Banyuwangi dan DI Yogyakarta. Hasinya, tempat yang paling banyak digunakan untuk merokok adalah warung kopi.

Direktur Eksekutif Alit Indonesia, Yuliani Umrah mengatakan temuan survei tentang perokok anak selama pandemi ini diketahui bahwa prevalensi perokok anak di masa pandemi mengalami kenaikan.

“Kami ingin mengajak berfikir bersama dengan adanya temuan tersebut. Kalau kemudian kami hanya menemukan 500 anak yang menjadi perokok, besar kemungkinan jumlah tersebut lebih dari seribu atau bahkan sepuluh ribu anak yang menjadi perokok,” katanya.

Ia meminta agar temuan itu harus dipikirkan bersama agar dapat menentukan langkah bersama ke depan seperti apa.

“Harapan kami ke depan, kita satu suara ke pemerintah pusat bagaimana mengatur kebijakan selanjutnya,” ujar Yuli.

Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Adik Dwi Putranto menyatakan, sejauh ini Kadin sangat peduli terhadap kondisi kesehatan masyarakat, termasuk kesehatan anak-anak.

Untuk itu, Kadin terbuka atas temuan Koalisi Stop Child Abuse yang terdiri dari Alit Indonesia, ISNU, KP2M, Komunitas Siwi dan Gusdurian Sidoarjo, sebab temuan tersebut menunjukkan adanya kenaikan prevalensi perokok anak di masa pandemi.

“Kalau kita bicara rokok, yang punya pabrik rokok saja tidak ingin anaknya yang kecil merokok. Begitu juga pekerjanya. Termasuk pedagang-pedagang kecil eceran saya pastikan mereka tidak mau anak-anaknya merokok. Tentu ini akan mencari titik temu,” katanya.

500 anak menjadi perokok aktif selama pandemi

Wakil Ketua Umum Bidang Cukai dan Pemberdayaan Perempuan, Kadin Jatim Sulami Bahar yang juga menjadi Ketua Gabungan Pengusaha Rokok (Gapero) Surabaya tertarik dengan hasil penelitian itu, karena baru kali ini survei prevalensi perokok anak yang tidak berseberangan dengan industri dan tidak memojokkan industri.

Sulami membenarkan bahwa selama ini prevalensi anak perokok Indonesia memang terus mengalami kenaikan. Di tahun 2018, naik 9,1 persen. Dan Gapero bersepakat untuk menurunkannya di tahun ini menjadi 8,4 persen.

“Dari industri kami tidak menghindari adanya kenaikan preveaensi perokok anak karena selama ini kami sudah melakukan aturan yang telah ditentukan. Tetapi kami tidak bisa kontrol keseluruhan rokok kalau sudah ada di market. Tetapi kami selalu memberikan himbauan kepada agen dan penjual agar tidak menjual rokok pada anak,” tegasnya.

Ia mengatakan, asumsi perokok dini dipicu karena harga rokok murah dengan cara pemerintah mengeluarkan aturan Dirjen Bea Cukai nomor 37 / 2017 sebenarnya tidak sepenuhnya benar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *