Mengenal Jadah Bakar, Jajanan Tradisional Murah Meriah

Mengenal Jadah Bakar, Jajanan Tradisional Murah Meriah

Ponorogo, Warajatim.com  – Di Kabupaten Ponorogo ditemukan banyak makanan tradisional. Salah satunya jadah bakar. Jika pagi warga bumi reog menyandingkan dengan segelas teh atau kopi panas. Berbeda malam, biasanya disandingkan dengan cemoe. 

Bagaimana kenikmatan jadah bakar? Berikut ulasannya.

Jadah adalah  sebutan olahan jajanan yang berasal dari beras ketan putih. Biasanya sebelum menjadi jadah  direndam semalaman kemudian dimasak atau ditetel dengan menggunakan santan dan ditumbuk hingga halus.

Proses penumbukannya sendiri tidak sebentar, harus dilakukan berjam-jam hingga ketan benar-benar halus. Rasanya pun berbeda dengan yang diolah dengan menggunakan mesin. Lebih nikmat jika dilakukan dengan ditetel atau ditumbuk secara manual.

“Kalau saya buatnya manual. Biar kerasa ketannya, ” ujar penjual jadah bakar di Pasar Jetis, Aman, Sabtu (12/9/2020)

Dia mengaku biasanya berangkat dari rumahnya di Desa Wonoketro, Kecamatan Jetis, Kabupaten Ponorogo selepas shalat ashar atau jam 16.00. Dia dan istri membuka lapak di Pasar Jetis hingga pukul 23.00 wib.

“Jadahnya dilapak kami, kami bakar dengan menggunakan arang. Disajikan saat masih hangat lengkap dengan sepiring gula untuk menambah rasa manis, ” ceritanya.

Mengenal Jadah Bakar, Jajanan Tradisional Murah Meriah

Aman menambahkan saat proses pembakaran pun masih menggunakan anglo yang diisi arang. Dengan sabar dan telaten, Aman mengipasi dengan tangan sambil membolak balikkan jadah agar tidak gosong. Wangi aroma jadah yang terbakar pun tercium.

Aman mengaku sejak tahun 2007 lalu  menggeluti profesinya sebagai pembuat dan penjual jadah bakar. Peminatnya datang dari berbagai usia mulai dari anak-anak hingga dewasa. 

“Jadah bakar tidak mengenal usia penggemarnya. Kadang orang yang Sudah sepuh. Kadang anak-anak. Juga pernah sepasang kekasih, ” jelasnya.

Menurutnya disukai semua usia karena harganya cukup murah. Dia menjual enam potong jadah bakar seharga Rp 5 ribu.

“Satu hari biasanya 100 porsi, tapi karena pandemi COVID-19 ya agak berkurang,” ceritanya. 

Walaupun begitu, Aman tetap membuka lapak nya setiap hari. Sebab hanya ini sumber rejeki bagi keluarganya. Ilmu membuat jadah bakar ini pun diperoleh secara turun temurun di keluarganya.

“Tiap hari buka, kecuali ada kepentingan keluarga atau sakit baru tutup,” tandas Aman.

Sementara, salah satu pembeli candra Wijaya mengaku hampir setiap seminggu sekali mampir di Pasar Jetis untuk membeli jadah bakar. Kadang dia harus berangkat sore untuk antre. Karena biasanya habis diburu warga lain.

“Jajanan tradisional seperti jadah bakar ini mulai jarang ditemui, jadi dari dulu saya langganan disini karena memang disini selalu jual,” pungkasnya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *